Cinta setia...cinta sampai mati... itulah janji atau perkataan yang sering diungkapkan oleh seorang pasutri kepada pasangannya...
Akan tetapi jika hanya janji dan berkata-kata indah, maka hampir semua lelaki mampu mengutarakannya...sebagaimana hampir seluruh istri pandai menghiasinya...
Akan tetapi benarkah cinta setia tersebut tetap langgeng setelah perginya istri...?
Ataukah sang suami menikah lagi dan melupakan istrinya tersebut...??
Sebaliknya juga seorang wanita, apakah jika suaminya telah meninggal ia tetap selalu mengenang kebaikan suaminya?, tetap mencintainya...?
Berikut cerita yang indah tentang suami sholeh yang setia terhadap istrinya yang sholehah yang telah tiada...
Al-Maqrizi rahimahullah dalam kitabnya دُرَرُ الْعُقُوْدِ الْفَرِيْدَةِ فِي تَرَاجُمِ الْأَعْيَانِ الْمُفِيْدَةِ bercerita tentang istrinya yang sholehah yang telah meninggal dalam usia yang sangat muda yaitu 20 tahun yang bernama Safro bintu Umar rahimahllahu, wafat pada tahun 790. Beliau rahimahullah bercerita pada jilid 2/97-98 bahwa istrinya tersebut lahir di Al-Qohiroh (Mesir) pada tahun 770 H, lalu ia menikah dengannya pada tahun 782 H (yaitu istrinya masih berumur 12 tahun). Dari pernikahan tersebut lahirlah putranya Muhammad Abul Mahasin pada tahun 786 H. Qoddarullah ternyata pada tahun yang sama di bulan Ramadhan Al-Maqrizi menjatuhkan talak (cerai) terhadap istrinya tersebut. Namun atas kehendak Allah ternyata mereka menikah lagi 2 tahun seteleh perceraian yaitu pada tahun 788 H. Setelah itu istrinya pun melahirkan putra Al-Maqrizi yang lain yaitu Ali Abu Hisyaam pada bulan Dzulhijjah tahun 789 H, ternyata 3 bulan kemudian istrinya tersebut sakit. Akhirnya istrinya pun meninggal dunia di usia yang masih sangat muda 20 tahun. Setelah itu Al-Maqrizi rahimahullah berkata :
واتّفق أني كنتُ أكثر من الاستغفار لها بعد موتها، فأُريتُها في بعض الليالي وقد دَخَلت عليَّ بهيئتها التي كفنتها بها، فقلتُ لها وقد تذكّرتُ أنها ميتة: يا أم محمد، الذي أُرسِله إليكِ يصل ؟ أعني استغفاري لها، فقالت: نعم يا سيدي، في كل يوم تصل هديتك إليَّ، ثم بكت وقالت: قد علمتَ يا سيدي أني عاجزة عن مكافأتك، فقلتُ لها: لا عليكِ، عمّا قليل نلتقي. وكانت غفر الله لها مع صغر سنها مِن خير نساء زمانها عِفّة وصيانة وديانة وثقة وأمانة ورزانة، ما عُوّضتُ بعدها مثلها
"Dan kebetulan aku sering mendoakan istighfar (ampunan) baginya setelah wafatnya. Maka pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengannya, ia datang menemuiku dalam kondisinya tatkala aku mengafankannya. Akupun berkata kepadanya dan aku ingat ia telah meninggal dunia : "Wahai ummu Muhammad, apakah apa yang aku kirimkan kepadamu sampai?, maksudku adalah aku berdoa memohonkan ampunan (istighfar) baginya". Maka iapun berkata, "Iya wahai tuanku (suamiku), setiap hari sampai hadiahmu kepadaku". Lalu iapun menangis dan berkata, "Sungguh engkau tahu wahai tuanku (suamiku) bahwa aku tidak mampu untuk membalas kebaikanmu". Maka aku berkata kepadanya, "Tidak usah kau pikirkan hal itu, sebentar lagi kita akan bertemu".
Istriku tersebut semoga Allah mengampuninya meskipun masih sangat muda akan tetapi ia termasuk wanita yang terbaik di zamannya, menjaga harga dirinya, menjaga agamanya, terpercaya, penuh amanah dan tegar. Setelahnya aku tidak pernah digantikan istri sepertinya" (Ad-Duror 2/99)
Setelah itu Al-Maqrizi mengucapkan sebuah sya'ir :
أبكي فِرَاقَهُم عَيْنِي فأَرَّقَهاَ إِنَّ التَّفَرُّقَ لِلأَحْبَابِ بَكَّاءُ
Aku menangisi perpisahan dengan mereka….jadilah mataku tidak bisa tidur…
Sungguh perpisahan dengan para kekasih merupakan tangisan….
(Ad-Duror 2/99)
Faidah :
Akan tetapi jika hanya janji dan berkata-kata indah, maka hampir semua lelaki mampu mengutarakannya...sebagaimana hampir seluruh istri pandai menghiasinya...
Akan tetapi benarkah cinta setia tersebut tetap langgeng setelah perginya istri...?
Ataukah sang suami menikah lagi dan melupakan istrinya tersebut...??
Sebaliknya juga seorang wanita, apakah jika suaminya telah meninggal ia tetap selalu mengenang kebaikan suaminya?, tetap mencintainya...?
Berikut cerita yang indah tentang suami sholeh yang setia terhadap istrinya yang sholehah yang telah tiada...
Al-Maqrizi rahimahullah dalam kitabnya دُرَرُ الْعُقُوْدِ الْفَرِيْدَةِ فِي تَرَاجُمِ الْأَعْيَانِ الْمُفِيْدَةِ bercerita tentang istrinya yang sholehah yang telah meninggal dalam usia yang sangat muda yaitu 20 tahun yang bernama Safro bintu Umar rahimahllahu, wafat pada tahun 790. Beliau rahimahullah bercerita pada jilid 2/97-98 bahwa istrinya tersebut lahir di Al-Qohiroh (Mesir) pada tahun 770 H, lalu ia menikah dengannya pada tahun 782 H (yaitu istrinya masih berumur 12 tahun). Dari pernikahan tersebut lahirlah putranya Muhammad Abul Mahasin pada tahun 786 H. Qoddarullah ternyata pada tahun yang sama di bulan Ramadhan Al-Maqrizi menjatuhkan talak (cerai) terhadap istrinya tersebut. Namun atas kehendak Allah ternyata mereka menikah lagi 2 tahun seteleh perceraian yaitu pada tahun 788 H. Setelah itu istrinya pun melahirkan putra Al-Maqrizi yang lain yaitu Ali Abu Hisyaam pada bulan Dzulhijjah tahun 789 H, ternyata 3 bulan kemudian istrinya tersebut sakit. Akhirnya istrinya pun meninggal dunia di usia yang masih sangat muda 20 tahun. Setelah itu Al-Maqrizi rahimahullah berkata :
واتّفق أني كنتُ أكثر من الاستغفار لها بعد موتها، فأُريتُها في بعض الليالي وقد دَخَلت عليَّ بهيئتها التي كفنتها بها، فقلتُ لها وقد تذكّرتُ أنها ميتة: يا أم محمد، الذي أُرسِله إليكِ يصل ؟ أعني استغفاري لها، فقالت: نعم يا سيدي، في كل يوم تصل هديتك إليَّ، ثم بكت وقالت: قد علمتَ يا سيدي أني عاجزة عن مكافأتك، فقلتُ لها: لا عليكِ، عمّا قليل نلتقي. وكانت غفر الله لها مع صغر سنها مِن خير نساء زمانها عِفّة وصيانة وديانة وثقة وأمانة ورزانة، ما عُوّضتُ بعدها مثلها
"Dan kebetulan aku sering mendoakan istighfar (ampunan) baginya setelah wafatnya. Maka pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengannya, ia datang menemuiku dalam kondisinya tatkala aku mengafankannya. Akupun berkata kepadanya dan aku ingat ia telah meninggal dunia : "Wahai ummu Muhammad, apakah apa yang aku kirimkan kepadamu sampai?, maksudku adalah aku berdoa memohonkan ampunan (istighfar) baginya". Maka iapun berkata, "Iya wahai tuanku (suamiku), setiap hari sampai hadiahmu kepadaku". Lalu iapun menangis dan berkata, "Sungguh engkau tahu wahai tuanku (suamiku) bahwa aku tidak mampu untuk membalas kebaikanmu". Maka aku berkata kepadanya, "Tidak usah kau pikirkan hal itu, sebentar lagi kita akan bertemu".
Istriku tersebut semoga Allah mengampuninya meskipun masih sangat muda akan tetapi ia termasuk wanita yang terbaik di zamannya, menjaga harga dirinya, menjaga agamanya, terpercaya, penuh amanah dan tegar. Setelahnya aku tidak pernah digantikan istri sepertinya" (Ad-Duror 2/99)
Setelah itu Al-Maqrizi mengucapkan sebuah sya'ir :
أبكي فِرَاقَهُم عَيْنِي فأَرَّقَهاَ إِنَّ التَّفَرُّقَ لِلأَحْبَابِ بَكَّاءُ
Aku menangisi perpisahan dengan mereka….jadilah mataku tidak bisa tidur…
Sungguh perpisahan dengan para kekasih merupakan tangisan….
(Ad-Duror 2/99)
Faidah :
1, Perceraian bisa jadi bukanlah akhir dari kisah cinta, ternyata Allah mengembalikan Al-Maqrizi rahimahullah seteleh bercerai dengan istrinya 2 tahun
2, Yang menjadikan suami setia dengan cintanya adalah kesholehan dan kebaikan istrinya, itulah yang tidak akan terlupakan oleh suami meskipun sang istri telah tiada
3, Pentingnya senantiasa mendoakan istri yang telah tiada, terutama memohonkan ampunan baginya. Para ulama telah sepakat bahwa doa yang masih hidup untuk orang yang sudah meninggal bermanfaat.
4, Cinta yang setia bukanlah dengan ucapan, akan tetapi bagaimana bisa tetap berbuat baik bagi pasangan hidup meskipun telah tiada. Diantaranya adalah sering mendoakannya,Trimakasih Usta Abu Abdil Muhsin Firanda
0 komentar:
Posting Komentar