Kisah Istri Shalihah Menanti Suami Koma 6 Tahun


Sosok wanita shalihah dan istri setia melekat pada Ummu Asmaa. Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun ia setia menunggui suaminya yang koma. Dokter memvonis suaminya tak mungkin sembuh, bahkan ada syaikh merekomendasikan agar Ummu Asmaa bercerai dan menikah lagi. Tapi ia mengabaikan itu semua. Ia memilih setia. Apa yang akhirnya ia dapat? Ini kisahnya yang mengharukan…

Suamiku adalah pria yang shalih dan berakhlak mulia. Ia juga sangat berbakti pada kedua orangtuanya. Sejak menikah dengannya pada tahun 1390 Hijriyah, kami tinggal bersama orang tuanya di Riyadh. Kebahagiaanku semakin bertambah, saat Allah mengkaruniakan seorang putri kepada kami setahun kemudian. Kami memberinya nama Asmaa.

Ketika putri kami berusia satu tahun, suami pindah kerja di daerah Timur Arab Saudi. Ia bekerja di sana selama sepekan dan pulang ke rumah selama sepekan. Begitu seterusnya hingga tiga tahun lamanya.

Suatu hari, tepatnya pada 9 Ramadhan tahun 1395 H, sebuah berita mengejutkan datang kepada kami. Bak petir di siang hari membelah langit yang cerah. Mobil suamiku terbalik saat pulang menuju Riyadh. Kecelakaan itu begitu hebat hingga membuatnya langsung koma. Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Tim dokter spesialis yang menanganinya mengatakan, suamiku mengalami kelumpuhan otak. 95 persen otaknya telah mati.

Hari-hari itu membuatku sangat sedih. Suami tercinta yang selama ini menjadi tumpuan hidup kami kini terbaring koma. Satu hari.. dua hari.. satu pekan.. dua pekan.. waktu terasa sangat lambat, dan kondisi suamiku tak mengalami perubahan apapun. Orangtuanya yang sudah lanjut usia tak kalah sedih. Namun yang membuatku paling sedih, ketika Asmaa menanyakan di mana ayahnya. Mengapa ia tak kunjung pulang. Kami memang menyembunyikan kabar sebenarnya dari Asmaa. “Umi, abi kok tidak pulang-pulang ya, katanya mau membelikan mainan?” tanya Asmaa dengan polosnya. Sambil berusaha menahan air mata, aku hanya bisa menjawab, “Sabar ya sayang… insya Allah nanti abi akan kembali.”

Bulan demi bulan berlalu. Tahun berganti tahun. Tak ada perubahan pada suamiku. Aku dan mertua bergantian menjenguknya.

Lima tahun sudah suamiku koma. Sebagian orang menyarankan agar aku mengajukan cerai ke pengadilan karena menurut dokter tak ada harapan sembuh untuk suamiku. Bahkan, seorang syaikh pun merekomendasikan hal itu setelah mengetahui bahwa otak suamiku lumpuh untuk selamanya.

“Tidak,” jawabku tegas setiap kali ada saran untuk bercerai. “Selama suamiku belum dikubur, aku akan tetap menjadi istrinya.”

Aku pun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah Asmaa. Aku mengajarinya, aku juga memasukkannya ke sekolah tahfidz. Ia mulai terbiasa shalat malam pada usia 7 tahun. Dan alhamdulillah, ia bisa hafal Qur’an sebelum menginjak usia 10 tahun. Seiring bertambahnya hafalan dan kedekatannya dengan Al Qur’an, kedewasaannya pun meningkat melampaui usianya. Aku pikir inilah waktu yang tepat untuk menyampaikan hal sebenarnya tentang ayahnya. Asmaa menangis. Ia sangat sedih mendengar kabar ayahnya. Terkadang, ia juga terlihat diam menyendiri.

Sejak tahu ayahnya koma di rumah sakit, Asmaa selalu membersamaiku ke sana. Ia mendoakan dan meruqyah ayahnya, ia juga bersedekah untuk ayahnya.

Hingga suatu hari pada tahun 1410, Asmaa meminta ijin menginap di rumah sakit. “Aku ingin menunggui ayah malam ini” pintanya dengan nada mengiba. Aku tak bisa mencegah.

Malam itu, Asmaa duduk di samping ayahnya. Ia membaca surat Al Baqarah di sana. Dan begitu selesai ayat terakhirnya, rasa kantuk menyergapnya. Ia tertidur di dekat ayahnya yang masih koma. Tak berapa lama kemudian, Asmaa terbangun. Ada ketenangan dalam tidur singkatnya itu. lalu, ia pun berwudhu dan menunaikan shalat malam.

Selesai shalat beberapa raka’at, rasa kantuk kembali menyergap Asmaa. Tetapi, kantuk itu segera hilang ketika Asmaa merasa ada suara yang memanggilnya, antara tidur dan terjaga. “Bangunlah… bagaimana mungkin engkau tidur sementara waktu ini adalah waktu mustajab untuk berdoa? Allah tidak akan menolak doa hamba di waktu ini”

Asmaa pun kemudian mengangkat tangannya dan berdoa. “Yaa Rabbi, Yaa Hayyu…Yaa ‘Adziim… Yaa Jabbaar… Yaa Kabiir… Yaa Mut’aal… Yaa Rahmaan… Yaa Rahiim… ini adalah ayahku, seorang hamba dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu baginya…

Ya Allah…, sesungguhnya ia berada di bawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan nabi Musa kepada ibunya… Yang telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim… sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…

Ya Allah… sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh… Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…”

Sebelum Subuh, rasa kantuk datang lagi. Dan Asmaa pun tertidur.

“Siapa engkau, mengapa kau ada di sini?” suara itu membangunkan Asmaa. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari sumber suara. Tak ada orang. Betapa bahagia dirinya, ternyata suara itu adalah suara ayahnya. Ia sadar dari koma panjangnya. Begitu bahagianya Asmaa, ia pun memeluk ayahnya yang masih terbaring. Sang ayah kaget.

“Takutlah kepada Allah. Engkau tidak halal bagiku” kata sang ayah.
“Aku ini putrimu ayah. Aku Asmaa” tak menghiraukan keheranan sang ayah, Asmaa segera menghubungi dokter dan mengatakan apa yang terjadi.

Para dokter yang piket pada pagi itu hanya bisa mengucapkan “masya Allah”. Mereka hampir tak percaya dengan peristiwa menakjubkan ini. Bagaimana mungkin otak yang telah mati kini kembali? Ini benar-benar kekuasaan Allah.

Sementara Abu Asmaa, ia juga heran mengapa dirinya berada di situ. Ketika Asmaa dan ibunya menceritakan bahwa ia telah koma selama tujuh tahun, ia hanya bertasbih dan memuji Allah. “Sungguh Allah Maha Baik. Dialah yang menjaga hamba-hambaNya” simpulnya.

Demikianlah, aku sangat berbahagia dengan keajaiban dari Allah ini. Aku hanya bisa bersykur kepada Allah yang telah mengokohkan kesetiaanku dan membimbingku untuk mentarbiyah putriku. [Kisahikmah.com, ditulis secara bebas dari kisah asli muslm.org]

Share on Google Plus

0 komentar:

Posting Komentar