KELUARGA (GADGET) BAHAGIA
Tepat Senin ini, keluarga kami menyempatkan waktu pergi ke Mal di sekitaran Solo. Sambil menggendong putri kecil saya menuju wahana kereta lebah yang disenanginya, saya berpapasan dengan sebuah keluarga. Ada dua orang putri yang saya kira yang tertua sudah cukup besar, kira-kira SMA. Dan yang bungsu kira-kira SMP. Kedua orangtua meraka cukup berumur. Tentunya bukan lagi keluarga muda. Mungkin usia pernikahan mereka sudah menginjak puluhan tahun. Jauh lebih lama dari keluarga kecil kami.
Hebatnya. Keempat anggota keluarga yang sempat berpapasan tadi, semuanya membawa gadget ditangannya. Wow, keluarga gadget. Yang sempat saya perhatikan, dua anaknya sedang sibuk utak-atik gadget-nya. Tab yang berukuran cukup besar untuk si putri sulung. Dan smartphone cukup besar di tangan si adik. Sedang ke dua orangtuanya hanya menenteng gadget mereka. Kedua orangtua mereka seperti bercakap. Sedang ke dua anak mereka seperti terhipnotis denga gadget mereka. Sangat disayangkan. Saya tidak bermaksud iri atau merasa dengki dengan keluarga tadi. Cuma sangat disayangkan saja. Menyempatkan waktu di Mal bersama keluarga adalah sebuah momen bersama. Waktu yang sejatinya diperuntukkan untuk kebersaaan dengan anggota keluarga. Bukan kebersamaan dengan gadget yang mereka bawa. Alih-alih fungsi utama gadget membantu manusia dalam beraktifitas, yang saya lihat adalah peran gadget sebagai pengganti peran dalam komunikasi. Gadget; Mendekatkan Yang Jauh, Menjauhkan Yang Dekat Sebuah axioma negasi gadget sebagai sarana mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat semakin nyata adanya. Betapa orang yang sejatinya berada dekat dengan orang-orang yang mereka sayangi tidak lagi perduli. Mereka lebih senang dan terpaku pada seseorang yang jauh disana. Saya pernah melihat satu keluarga yang duduk makan bersama, namun kepala mereka tertunduk pada gadget mereka masing-masing. Seperti keberadaan fisik (being) anggota kelurga digantikan total dengan sosok samar (imaginary) jauh disana dengan sarana gadget mereka. Mungkin keluarga ini merasa fine-fine saja dengan kebiasaan yang mereka lakukan. Tapi secara esensi, mereka telah merusak jalinan keluarga mereka. Keluarga gadget yang selalu tunduk patuh menghadap gadget mereka, mncerminkan cara mereka berkomunikasi. Yaitu minus komunikasi. Anak-anak mereka mungkin akan lebih senang berkomunikasi dengan teman sekolah mereka, daripada dengan orangtua mereka. Kehangatan berkomunikasi mereka lebih rasakan bersama teman. Toh keluarga mereka ada, namun hanya formalitas belaka. Melahirkan dan membesarkan. Proses mendampingin dan mendidik saat anak-anak tumbuh diserahkan ke sekolah, teman, lingkungan, bahkan gadget. Lalu buat apa berkumpul dan menyempatkan waktu bersama keluarga. Jika fikir dan hati mereka ada diluar sana. Badan mereka ada disana, namun kesediaan fikir dan hati tidak ada. Seumpama zombie. Mereka eksis, namun alam sadar mereka tidak ada. Bukankah lebih baik satu keluarga tadi berkumpul dan bercengkrama saja di Twitter atau Facebook saja. Mungkin akan lebih menyenangkan. Mungkin? People Are Not Obsessed With Technology, But They Are Obsessed With Themselves Berkumpul bersama anggota keluarga sudah digantikan menjadi berkumpul dengan gadget keluarga. Jika tiap anggota keluarga membawa masing-masing gadget mereka. Apalagi mereka adalah pengguna aktif socmed atau gadget geek. Sebuah bencana sebuah keluarga. Keluarga secara fisik yang hendak meluangkan waktu bersama, kini menjadi kelura yang terobsesi dengan diri mereka. Obsesi yang pertama memperburuk keadaan adalah jiwa-jiwa ingin eksis di dunia maya. Anak-anak yang sedang beranjak dewasa tentunya ingin sekali menunjukkan eksistensi mereka. Mereka menjadi terobsesi dengan imaji diri yang harus terlihat keren, tampan, gaul, up-to-date dan sebagainya. Eksis di dunia Twitter misalnya, dengan tweet hanya dua atau tiga kata yang serupa sampah. Apa yang mereka lakukan adalah jiwa-jiwa yang terobsesi dengan diri mereka sendiri. Begitupun dengan orangtua mereka. Jika gadget menjadi 'santapan' di tangan mereka saat mereka bersanta. Ini adalah tanda betapa orangtualah yang menjadi contoh. Contoh 'zombie-zombie'muda ciptaan mereka sendiri. Obsesi kedua adalah kiranya pamer. Gadget yang kian hari kian canggih, pastinya ingin dimiliki setiap orang. Harga gadget yang berkisar jutaan sampai puluhan juta, membawa pula prestise semu. Sebuah prestise yang sebenarnya mereka rasa sendiri. Orang yang menenteng gadget mahal, akan merasa prestise diri mereka naik. Dan merasa, gadget orang lain tidak sekeren dan semahal yang ia punya. Sebuah rasa yang hanya merasa. Bisa saja orang lain memiliki gadget yang lebih mahal di dalam tas atau cenderung tidak ingin pamer. Dan keluarga gadget seumpama menyiratkan merekalah keluarga dengan prestise tinggi. Keluarga yang cukup mampu secara finansial dengan gadget yang mereka tenteng. Keluarga lain yang tidak memiliki gadget seprti yang mereka tenteng adalah 'kelas bawah'. Mereka mungkin merasa paling 'kaya'dan prestisius. Toh, setidaknya itu rasa yang ingin mereka rasakan. Walaupun mereka sendiri yang membentuk perasaan tersebut. Stop Bohongi Anak-Anakmu Tidak perlu satu keluarga yang sempat saya lihat tadi meluangkan waktu bersama ke Mal. Jangan bohongi anggota keluarga untuk makan dan jalan-jalan bersama. Jika hati dan fikir tidak turut serta, Hanya fisik formal saja yang meluangkan waktu berkumpul bersama. Sedang hati dan fikir mereka terobsesi dengan hal-hal di luar lingkaran kehangatan kebersamaan keluarga. Membawa gadget tidak sama sekali dilarang. Toh gadget itu pun dibeli dengan uang sendiri. Yang sangat saya sayangkan adalah fungsinya yang mengambil alih fikir dan hati anggota keluarga. Gunakan gadget seperlunya saat berkumpul dengan keluarga. Gunakan ketika ada pesan atau telepon yang masuk saja. Obsesi yang sudah akut jika hampir tiap lima menit sekali memandangi tunduk kepada gadget. Sebuah kesia-siaan jika anggota keluarga adalah zombie-zombie tak berhati. Dan fikir yang mengawang jauh ke negri dunia maya. Stop gunakan gadget jika bersantap. Duduk sembari makan bersama adalah priceless momen bersama keluarga. Sebuah momen yang mungkin tersia jika gadget ikut rembug. Apalagi jika tangan kanan menyuap makanan, tangan kiri sibuk menscroll gadget. Sebuah pemandangan yang saya kira menyedihkan. Menggunakan gadget di meja makan tata krama yang sangat tidak dianjurkan dalam protokol table manner manapun. Luangkan waktu bersama keluarga dengan menghadirkan hati dan fikiran untuk kebersamaan. Bersama secara hati dan fisik dengan keluarga. Bukan dengan gadget. Salam, Solo 31 Maret 2014 10:44 pm
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/girilu/keluarga-gadget_54f7cb1ba333112e1f8b4a16
0 komentar:
Posting Komentar